KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Warga korban Merapi di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/1), bergotong royong membangun kandang sapi di bekas rumah mereka yang hancur tersapu awan panas. Mereka terpaksa membangun rumah dan kandang sapi dengan bahan bambu dan kayu seadanya karena belum ada bantuan dari pemerintah. Tempat hunian sementara yang dijanjikan bisa ditempati sejak awal tahun hingga sekarang masih dalam tahap pembangunan.
KOMPAS.com — Jalan dusun selebar 2,5 meter menjadi pemisah Dusun Banjarsari, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, dengan Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Namun, hal itu tak mengurangi keeratan warga kedua dusun.
Kedua dusun itu berada di bawah pemerintahan provinsi berbeda. Banjarsari berada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sementara Srunen di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
”Dulu, semua guyub dan semangat gotong royongnya tinggi. Kalau di Banjarsari ada kekurangan saat hajatan, warga dari Srunen membantu. Begitu juga sebaliknya,” kata Juweri (25), warga Banjarsari, Kamis (27/1/2011).
Kini, akibat erupsi Merapi, mereka terpisah berbulan-bulan karena harus mengungsi sehingga situasi berubah. Juweri kini hanya bertegur sapa sekadarnya dengan Pinto (35), tetangga dekat dari Srunen.
Juweri ataupun Pinto tak lagi saling membantu memperbaiki rumah mereka yang rusak parah. Mereka memilih meminta bantuan relawan dari luar daerah. ”Sekarang
pekewuh (tidak enak hati) karena sama-sama jadi korban (Merapi),” katanya.
Padahal, sebelumnya Juweri tak sungkan minta bantuan Pinto, seorang tukang batu, untuk membangun kamar tidur di rumahnya. Sebaliknya, Pinto meminta bantuan Sedyo (60), ayah Juweri, untuk memperbaiki kerangka atap rumahnya tanpa bayaran.
Permukiman penduduk di kedua dusun, sekitar 6 kilometer dari puncak Merapi, hancur. Pohon-pohon rindang berwarna hijau, kini berwarna abu-abu, kering tanpa dedaunan. Sebagian rumah hancur, menyisakan tembok tanpa atap.
Warga Dusun Banjarsari mengungsi di Desa Kepurun, sementara warga Srunen mengungsi di Balaidesa Glagaharjo. Kedua tempat terpisah lebih dari 3 kilometer. Selama dua tahun mendatang mereka harus menetap di hunian sementara yang sedang dalam proses penyelesaian.
”Di sini tidak ada kegiatan apa-apa. Kalau di rumah, bisa mencari kayu dan rumput, juga memberi makan ternak,” kata Ny Widi Wiyono (65), warga Dusun Sariharjo, Balerante, yang mengungsi di Kepurun.
Perubahan lingkungan
Letusan Merapi tidak hanya menggoyahkan relasi sosial, tetapi juga menimbulkan perubahan lingkungan yang dahsyat. Material letusan Merapi tak lagi melewati alur-alur lama, tetapi menyebar ke berbagai penjuru.
Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, ketika jumlah penduduk tak sepadat sekarang, warga menghindari amukan Merapi dengan memindahkan ibu kota kerajaan sebanyak empat kali dari DI Yogyakarta-Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur.
Meletus rata-rata setiap empat hingga sepuluh tahun sekali, lahar dingin Gunung Merapi mampu menimbun bangunan candi besar dan kecil. Candi Sambisari tertimbun lahar dingin dari luapan Kali Kuning setinggi 6 meter. Adapun Candi Prambanan dan Candi Pawon tertimbun lahar dingin dari Kali Opak.
Pada letusan Desember 2010, awan panas melanda 31 dusun. Dari jumlah itu, 16 dusun luluh lantak. Semuanya berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Di Kabupaten Magelang, Jateng, banjir lahar dingin, terutama di Kali Putih, merusak 442 rumah. Hal ini membuat 4.993 warga enam kecamatan di Kabupaten Magelang mengungsi.
Banjir lahar dingin juga membuat jalan utama Yogyakarta-Magelang terputus empat kali. Tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, putusnya jalur ini juga mengganggu roda perekonomian.
Banjir lahar dingin merusak sembilan jembatan dan dua ruas jalan. Jembatan Tlatar yang ambrol, misalnya, mengganggu aktivitas perdagangan sayur di Subterminal Agribisnis Sewukan yang memasok sayuran ke seluruh Indonesia.
Kini di dusun-dusun sekitar Kali Putih tidak lagi tampak pohon lebat di antara permukiman, ladang sayur, serta sapi perah dan kegiatan masyarakat terkait hal itu. Yang tampak pemandangan bak gurun. Hamparan pasir, batu besar, dan pohon-pohon yang hangus terbakar. Ribuan warga yang mayoritas peternak kini jadi pengungsi dan kehilangan pekerjaan.
Abu vulkanik dan awan panas, seperti disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ketika berkunjung ke Sleman, beberapa waktu lalu, merusak 3.559 hektar hutan dari 6.410 hektar hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Dari jumlah itu, 459 hektar terbakar awan panas, sisanya rusak terkena abu. Luas kawasan TNGM terbagi di DIY (Sleman) 1.283,99 hektar serta Jateng (Boyolali, Magelang, dan Klaten) seluas 5.126,01 hektar.
Kawasan Merapi tak mampu lagi menjadi kawasan resapan air. Ketersediaan air tanah yang diandalkan ribuan warga lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, dan sebagian Kota Yogyakarta kini hilang dan perlu dicari penggantinya.
Menurut Kepala Balai TNGM Kuspriyadi, pihaknya sudah menyusun program penanaman pohon sebagai penahan air.
Letusan tahun lalu, menurut Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Junun Sartohadi, menunjukkan karakteristik erupsi Gunung Merapi berubah dari periode normalnya (4-10 tahun) ke periode 100 tahunan. Material vulkanik yang dikeluarkan jauh lebih besar, 150 juta meter kubik. Biasanya hanya 4-12 juta meter kubik.
Limpahan material vulkanik berdampak terhadap pembelokan alur sungai. Aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi berpotensi membentuk jalur-jalur baru karena terhalang tumpukan endapan material vulkanik. Aliran Kali Opak mulai pindah ke kanan dan kiri sungai utama setelah melewati Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan.
Perpindahan arah sungai ini menyebabkan banyak korban tewas di Argomulyo akibat banjir lahar. Karena itu perlu antisipasi pada masa depan agar tak banyak lagi jatuh korban jiwa.
(GAL/WKM/EGI/PRA)
http://regional.kompas.com/read/2011/01/29/09093190/Merapi.Mengubah.Segalanya