Senin, 31 Januari 2011

Solidaritas Hati Para Pengungsi Gunung Merapi

KEPEDULIAN SOSIAL

Tidak ada seorang pun yang dapat memahami derita pengungsi, kecuali mereka yang pernah mengungsi. Perasaan inilah yang mendorong masyarakat yang dulu penjadi pengungsi korban erupsi Gunung Merapi di Dusun Kemiren, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, menolong warga di berbagai dusun yang kini jadi korban banjir lahar dingin.
Empati mendalam inilah yang juga menggerakkan hati Marsiyem (29) dan empat ibu lain dari Dusun Kemiren memasak dan menyiapkan 500 nasi bungkus untuk warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam.
Dusun Kemiren yang merupakan tempat tinggal Marsiyem hanya berjarak sekitar 17 kilometer dari Gunung Merapi. Saat erupsi Merapi, 700-an warga dusun ini mengungsi selama tiga minggu di dua lokasi di Kecamatan Salam.
Untuk memenuhi kebutuhan logistik para korban banjir lahar dingin di sejumlah tempat, setiap hari ibu-ibu di Dusun Kemiren bergantian memasak. Dengan ”kekuatan” empat hingga lima ibu setiap hari, mereka dapat memasak 250-1.000 bungkus nasi per hari.
Kegiatan ini dilakukan di posko yang didirikan warga Dusun Kemiren dan diberi nama Posko Siaga Lahar Dingin Merapi ”Tetap Semangat”.
Selain memasak, di posko inilah segala aktivitas yang terkait dengan antisipasi bencana lahar dingin dan kegiatan menolong korban bencana lahar dingin dirancang dan dilakukan.
Koordinator Posko Siaga Lahar Dingin Merapi Tetap Semangat Adi Triwahyu mengatakan, posko yang juga menggunakan rumahnya ini mulai berdiri dan aktif memberikan bantuan kepada korban lahar dingin sejak awal Januari lalu. Aktivitas ini diawali dengan menggalang dana bantuan untuk korban lahar dingin.
Kendati tanpa ada instruksi atau embel-embel ”iuran wajib”, sebanyak 116 kepala keluarga di Dusun Kemiren ikhlas menyumbang dana yang mereka miliki, mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 50.000 per orang. Setelah lima kali dilakukan penggalangan dana, uang yang terkumpul mencapai sekitar Rp 4 juta. Uang sumbangan itu menjadi modal awal untuk membeli bahan-bahan kebutuhan memasak.
Setelah kegiatan berjalan dan dana mulai menipis, para relawan di posko mencari bantuan dari donatur. Mereka bahkan mencari uang dengan mengeruk pasir Merapi yang kini melimpah ruah di jalan raya Magelang-Yogyakarta. Satu kali pengerukan pasir bisa diperoleh Rp 400.000- Rp 500.000. Selain bantuan logistik, sekitar 50 relawan di posko tersebut juga menyediakan tenaga mereka untuk membantu mengevakuasi perabotan warga yang terendam pasir di Desa Sirahan.
Warga Kemiren, yang aktif membantu, bukanlah warga berkecukupan. Marsiyem misalnya. Rumahnya masih dalam kondisi rusak. Dapur dan kamar di bagian belakang rumahnya belum bisa ditempati karena atapnya roboh tertimpa pohon kelapa....
(EGI)

http://regional.kompas.com/read/2011/01/31/04021695/Solidaritas.Hati.Para.Pengungsi.Gunung.Merapi

Sabtu, 29 Januari 2011

Merapi Mengubah Segalanya

Editor: Inggried

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Warga korban Merapi di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/1), bergotong royong membangun kandang sapi di bekas rumah mereka yang hancur tersapu awan panas. Mereka terpaksa membangun rumah dan kandang sapi dengan bahan bambu dan kayu seadanya karena belum ada bantuan dari pemerintah. Tempat hunian sementara yang dijanjikan bisa ditempati sejak awal tahun hingga sekarang masih dalam tahap pembangunan.

KOMPAS.com — Jalan dusun selebar 2,5 meter menjadi pemisah Dusun Banjarsari, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, dengan Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Namun, hal itu tak mengurangi keeratan warga kedua dusun.
Kedua dusun itu berada di bawah pemerintahan provinsi berbeda. Banjarsari berada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sementara Srunen di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
”Dulu, semua guyub dan semangat gotong royongnya tinggi. Kalau di Banjarsari ada kekurangan saat hajatan, warga dari Srunen membantu. Begitu juga sebaliknya,” kata Juweri (25), warga Banjarsari, Kamis (27/1/2011).
Kini, akibat erupsi Merapi, mereka terpisah berbulan-bulan karena harus mengungsi sehingga situasi berubah. Juweri kini hanya bertegur sapa sekadarnya dengan Pinto (35), tetangga dekat dari Srunen.
Juweri ataupun Pinto tak lagi saling membantu memperbaiki rumah mereka yang rusak parah. Mereka memilih meminta bantuan relawan dari luar daerah. ”Sekarang pekewuh (tidak enak hati) karena sama-sama jadi korban (Merapi),” katanya.
Padahal, sebelumnya Juweri tak sungkan minta bantuan Pinto, seorang tukang batu, untuk membangun kamar tidur di rumahnya. Sebaliknya, Pinto meminta bantuan Sedyo (60), ayah Juweri, untuk memperbaiki kerangka atap rumahnya tanpa bayaran.
Permukiman penduduk di kedua dusun, sekitar 6 kilometer dari puncak Merapi, hancur. Pohon-pohon rindang berwarna hijau, kini berwarna abu-abu, kering tanpa dedaunan. Sebagian rumah hancur, menyisakan tembok tanpa atap.
Warga Dusun Banjarsari mengungsi di Desa Kepurun, sementara warga Srunen mengungsi di Balaidesa Glagaharjo. Kedua tempat terpisah lebih dari 3 kilometer. Selama dua tahun mendatang mereka harus menetap di hunian sementara yang sedang dalam proses penyelesaian.
”Di sini tidak ada kegiatan apa-apa. Kalau di rumah, bisa mencari kayu dan rumput, juga memberi makan ternak,” kata Ny Widi Wiyono (65), warga Dusun Sariharjo, Balerante, yang mengungsi di Kepurun.
Perubahan lingkungan
Letusan Merapi tidak hanya menggoyahkan relasi sosial, tetapi juga menimbulkan perubahan lingkungan yang dahsyat. Material letusan Merapi tak lagi melewati alur-alur lama, tetapi menyebar ke berbagai penjuru.
Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, ketika jumlah penduduk tak sepadat sekarang, warga menghindari amukan Merapi dengan memindahkan ibu kota kerajaan sebanyak empat kali dari DI Yogyakarta-Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur.
Meletus rata-rata setiap empat hingga sepuluh tahun sekali, lahar dingin Gunung Merapi mampu menimbun bangunan candi besar dan kecil. Candi Sambisari tertimbun lahar dingin dari luapan Kali Kuning setinggi 6 meter. Adapun Candi Prambanan dan Candi Pawon tertimbun lahar dingin dari Kali Opak.
Pada letusan Desember 2010, awan panas melanda 31 dusun. Dari jumlah itu, 16 dusun luluh lantak. Semuanya berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Di Kabupaten Magelang, Jateng, banjir lahar dingin, terutama di Kali Putih, merusak 442 rumah. Hal ini membuat 4.993 warga enam kecamatan di Kabupaten Magelang mengungsi.
Banjir lahar dingin juga membuat jalan utama Yogyakarta-Magelang terputus empat kali. Tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, putusnya jalur ini juga mengganggu roda perekonomian.
Banjir lahar dingin merusak sembilan jembatan dan dua ruas jalan. Jembatan Tlatar yang ambrol, misalnya, mengganggu aktivitas perdagangan sayur di Subterminal Agribisnis Sewukan yang memasok sayuran ke seluruh Indonesia.
Kini di dusun-dusun sekitar Kali Putih tidak lagi tampak pohon lebat di antara permukiman, ladang sayur, serta sapi perah dan kegiatan masyarakat terkait hal itu. Yang tampak pemandangan bak gurun. Hamparan pasir, batu besar, dan pohon-pohon yang hangus terbakar. Ribuan warga yang mayoritas peternak kini jadi pengungsi dan kehilangan pekerjaan.
Abu vulkanik dan awan panas, seperti disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ketika berkunjung ke Sleman, beberapa waktu lalu, merusak 3.559 hektar hutan dari 6.410 hektar hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Dari jumlah itu, 459 hektar terbakar awan panas, sisanya rusak terkena abu. Luas kawasan TNGM terbagi di DIY (Sleman) 1.283,99 hektar serta Jateng (Boyolali, Magelang, dan Klaten) seluas 5.126,01 hektar.
Kawasan Merapi tak mampu lagi menjadi kawasan resapan air. Ketersediaan air tanah yang diandalkan ribuan warga lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, dan sebagian Kota Yogyakarta kini hilang dan perlu dicari penggantinya.
Menurut Kepala Balai TNGM Kuspriyadi, pihaknya sudah menyusun program penanaman pohon sebagai penahan air.
Letusan tahun lalu, menurut Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Junun Sartohadi, menunjukkan karakteristik erupsi Gunung Merapi berubah dari periode normalnya (4-10 tahun) ke periode 100 tahunan. Material vulkanik yang dikeluarkan jauh lebih besar, 150 juta meter kubik. Biasanya hanya 4-12 juta meter kubik.
Limpahan material vulkanik berdampak terhadap pembelokan alur sungai. Aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi berpotensi membentuk jalur-jalur baru karena terhalang tumpukan endapan material vulkanik. Aliran Kali Opak mulai pindah ke kanan dan kiri sungai utama setelah melewati Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan.
Perpindahan arah sungai ini menyebabkan banyak korban tewas di Argomulyo akibat banjir lahar. Karena itu perlu antisipasi pada masa depan agar tak banyak lagi jatuh korban jiwa.
(GAL/WKM/EGI/PRA)

http://regional.kompas.com/read/2011/01/29/09093190/Merapi.Mengubah.Segalanya

Jumat, 28 Januari 2011

Pascaerupsi, Masihkah Layak?

AIR BERSIH

Dari tepi Kali Kuning, Dusun Kinahrejo, Sleman, DI Yogyakarta, kedahsyatan letusan Gunung Merapi meninggalkan jejak begitu nyata. Segara pasir dan tumpukan batu vulkanik membentang di alur yang dulunya aliran sungai.
asar sungai pun kini hanya berjarak kurang dari satu meter dari bibir. Dari sebelah barat, orang bahkan bisa berlari turun dari punggung bukit dengan leluasa hingga ke dasar sungai. Bukit yang dulunya hijau rapat tertutup vegetasi, sekarang gundul.
Material vulkanik telah menutup sebagian besar aliran sungai yang berhulu di Merapi. Sejumlah mata air yang oleh warga setempat disebut umbul dan tuk juga hancur tertutup material vulkanik. Umbul Wadon, mata air utama di punggung Merapi yang dipercaya alirannya bahkan hingga ke wilayah Gunung Kidul, termasuk yang rusak.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sekitar 125.000 jiwa penduduk terancam krisis air bersih, khususnya di wilayah Kabupaten Sleman. Dampak terbesar terutama akibat kerusakan Umbul Wadon dan Umbul Bebeng. Keduanya adalah sumber utama pemasok perusahaan daerah air minum maupun sistem pengolahan air sederhana (sipas). Sipas adalah sistem perpipaan air minum komunal yang memanfaatkan sumber air gunung yang mengalir secara gravitasi. Letusan Merapi merusak 131 unit sipas. Setiap unit melayani 300-500 penduduk.
Ketersediaan air bersih jadi masalah krusial pascaerupsi Merapi. Anto, staf posko sanitasi air Palang Merah Indonesia di Desa Turi, Kecamatan Pakem, Sleman, mengatakan, mereka rata-rata memasok 350.000 liter air bersih layak minum setiap hari untuk warga. Aktivitas itu justru bakal meningkat setelah masa tanggap darurat lewat. ”Sekarang kami memasok untuk 1.500 keluarga. Setelah hunian sementara selesai dibangun, ada 4.000 keluarga yang harus mendapat air bersih,” kata Anto.
Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada (UGM) Junun Sartohadi mengatakan, endapan material vulkanik Merapi mengandung logam berat yang bisa membahayakan kesehatan. ”Logam berat ini jika masuk ke dalam tubuh manusia, biasanya tertimbun di dalam organ yang penting. Demi keamanan, mata air di sekitar puncak Merapi tidak digunakan sebagai air minum, tetapi bisa dipakai untuk mandi, cuci, atau mengairi sawah,” jelas Junun.
Mengacu pada hasil penelitian geolog Fiantis pascaletusan Merapi tahun 2006 yang dimuat dalam Journal of Mount Science (2009), material vulkanik mengandung berbagai senyawa oksida dan logam berat. Dalam artikel Chemical Weathering of New Pyroclastic Deposits from Mount Merapi, material vulkanik Merapi antara lain mengandung silika dalam bentuk SiO2 dan logam berat seperti arsen, plumbum, dan strontium.
Sulistyono, aktivis Yayasan Kanopi di Yogyakarta, mengemukakan, unsur silika dan arsen ditemukan dalam sampel air yang dicuplik dari lokasi mata air di Dusun Turgo dan Desa Argo Mulyo, Sleman. Dua mata air di Turgo selamat dari dampak letusan Merapi meskipun debit airnya berkurang. Lokasi mata air itu persis di bukit di tepi Kali Boyong. Dalam sampel yang diambil akhir November 2010, didapati kadar silika 5.6995-5.9813 miligram per liter. Sedangkan kadar arsen dari kedua lokasi yang disampel menurut uji lab Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta kurang dari 0,0085 miligram per liter.
Musimin, Ketua RT 1 RW 2 Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, menyatakan telah membawa hasil analisis sampel air yang menunjukkan kandungan silika dan arsen ke petugas kelurahan. Sebagai tindakan antisipatif, Musimin menyarankan warga menyaring dan membiarkan air mengendap semalam. ”Saya juga mengingatkan mereka tidak minum langsung air keran meskipun terlihat bening,” ujarnya.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, untuk menjamin kelayakan air yang dikonsumsi warga, Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Yogyakarta terus memonitor kondisi air di kawasan seputar Merapi. Mereka mengambil sampel air dari beberapa posko pengungsian dan sungai di wilayah itu untuk mencegah masyarakat, terutama pengungsi, terpapar penyakit menular seperti diare dan memastikan kualitas dan kondisi air minum. (DOT/JOS)

http://regional.kompas.com/read/2011/01/28/05202527/Pascaerupsi.Masihkah.Layak.

Kamis, 20 Januari 2011

Merapi Banjir Lahar & material merapi








DiLokasi MERAPI perlu pembenahan







Sabtu, 15 Januari 2011

Lahar Dingin Merapi Hancurkan Jembatan, 6 Desa di Magelang Terisolir

Jakarta - Sebanyak enam desa di lereng merapi di wilayah magelang terisolir setelah jembatan penghubung roboh diterjang lahar dingin Merapi. Akibatnya aktivitas ekonomi dan pendidikan di ke enam desa ini lumpuh total.

Arus deras lahar dingin ini menerjang jembatan Tlatar di kali Pabelan, yang merupakan penghubung dua kecamatan yakni Kecamatan Dukun dan Kecamatan Sawangan, Magelang. Enam desa yang hingga kini tertutup akses jalannya adalah  Wonolelo, Keteb, Kapuhan, Krogowanan, Sawangan, dan Desa Gondowangin.

Di Kecamatan Sawangan sendiri terdapat 15 desa dengan 53.752 penduduk yang tersebar di 151 dusun. Jembatan ini memang vital karena merupakan jembatan terkahir yang tersisa setelah dua jembatan penghubung lainnya sudah roboh terlebih dahulu tergerus lahar dingin Merapi. Akibatnya warga harus  memutar sejauh 25 kilometer untuk menjual barang dagangan atau sekedar berbelanja sayutan.

Pelajar yang tinggal di keenam dusun ini juga kesulitan. Sebab mayoritas pelajar di keenam dusun ini belajar di SMP I,II, dan III Sawangan serta SMP Santamaria yang hanya bisa diakses menggunakan jembatan yang telah roboh ini.

"Beberapa warga Kecamatan Sawangan sempat lari ke Kecamatan Dukun, jadi mereka belum bisa pulang karena jembatan roboh," ujar Camat Sawangan, Sujarwo (55).

Saat ini ratusan warga berkumpul di kedua ujung jembatan yang telah roboh untuk menyaksikan arus lahar dingin Merapi yang masih deras. Tak jauh dari jembatan, pedagang yang berjualan di Pasar Talun tampak merapikan dagangannya karena diimbau untuk membereskan dagangan untuk menghindari banjir lahar dingin yang lebih parah. (van/gah)

Banjir Lahar Dingin di Magelang Semakin Besar


Ilustrasi
Jakarta - Banjir lahar dingin yang memutuskan jembatan di Sungai Pabelan, Magelang, masih terus mengalir. Warga makin resah karena volume banjir lahar dingin kian membesar.

"Setelah lahar dingin yang pertama sempat memutuskan jembatan Kali Pabelan pukul 17.00 WIB tadi, kira-kira pukul 21.00 banjir lahar dingin yang semakin besar kembali terjadi," ujar warga sekitar Kali Pabelan, Budi Ari Wibowo, kepada detikcom, Sabtu (15/1/2011).

Warga Kecamatan Sawangan, Magelang, ini pun mengaku mendengar suara gemuruh bajir lahar dingin dari rumahnya. Ia bersama warga sekitar pun sempat memantau ketinggian banjir lahar dingin.

"Kalau ini cenderung air bergemuruh besar sekali. Warga banyak yang turun menonton menggunakan senter," terangnya.

Hulu Sungai Pabelan, Budi menuturkan, memang langsung dari lereng merapi. Sehingga aliran lahar dingin melalui sungai ini tergolong melimpah.

"Di dekat rumah saya ini yang paling lebar bisa sampai 200 meter. Jembatan yang roboh panjangnya sekitar 100 meter," paparnya.

Putusnya jembatan Pabelan dikeluhkan Budi mematikan nadi ekonomi warga sekitar. Sebab warga kampungnya harus memutar cukup jauh untuk membeli kebutuhan pokok.

"Makanya kalau mau jalur alternatif sebaiknya lewat jembatan yang terdekat, tapi juga sudah digenangi lahar dingin," sarannya.

(van/gah)
http://www.detiknews.com/

Selasa, 04 Januari 2011

Jogjakarta dipayungi oleh HALO


kali ini kusaksikan langsung Matahari bercincin yang biasa di sebut "HALO" (sebenarnya aku juga baru tahu setelah nanya ama mbah google), sangat menarik sekali, maka hampir semua orang jogja yang menyaksikan saling memberitahu kepada teman, keluarga dan orang sekitarnya sehingga Masyarakat JOGJAKARTA akhirnya Geger, sebenarnya nggak juga sih sampai geger.. heheheheeee,.
Fenomena matahari bercincin ini sebetulnya sudah sering terjadi sih kata orang-orang, namun ini aku baru pertama kali turut menyaksikannya karena belum pernah melihat langsung seperti yang terjadi di langit Jogja ini.
Kata ahli hal ini disebabkan oleh pantulan dari Kristal Es yang berada di sekeliling matahari. (emang ada ES di sekitar matahari yang PANAS dan PANAS BANGET itu), gak nyangka ya...di sekeliling matahari ada juga ES. ya gitu lah istilahnya,,
Hal ini di jelaskan oleh staf observasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Yogyakarta (BMKG), Heru Gunawan.
Silahkan dari kamera Ponsel ku, mari kita lihat Foto-fotonya berikut ini.

Sabtu, 01 Januari 2011

Semoga di Tahun 2011 Senantiasa SUKSES

MERAPI MERAPIKAN DIRI © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates